Pembenahan Penghargaan Pekerjaan di KPPN Prima

Salah satu penghargaan manajemen atas SDM adalah memperoleh kedudukan atau jabatan yang terukur dengan kemampuan SDM dengan strata pencapaian yang terukur pula. Pekerjaan di DJPBN telah berulang kali diajukan sebagai pekerjaan fungsional artinya tanggung jawab pribadi, selama ini gagal disetujui oleh Menteri PAN, kenyataannya pekerjaannya masih merupakan tanggung jawab bersama.
Mas Budisan memberikan ulasan yang sangat menarik di Milis Forum Prima sebagai berikut. Mohon diijinkan agar saya mengekspos pendapat mas Budisan dalam blog saya.

Dear Miliser yang budiman,

Tulisan berikut ini saya kutip dari bagian "Kesimpulan dan Rekomendasi" dalam laporan saya tentang Pembentukan Jabatan Fungsional Pengelola Perbendaharaan (JFPP). Sambil menunggu pendapat dan saran dari para pejabat eselon II di Kantor Pusat Ditjen PBN, termasuk keputusan Dirjen PBN, tentang tindak lanjut pembentukan JFPP, saya berharap di antara para Miliser ada yang (mungkin Pak Subasita) bersedia memberikan pendapat dan saran dalam rangka membantu Dirjen PBN dalam mengambil keputusan tentang tindak lanjut pembentukan JFPP.
Semoga pergulatan batin saya selama ini dalam upaya mengusir rasa sepi, menunggu kesempatan presentasi JFPP kepada Pak Dirjen sejak Agustus/September 2008 lalu, bukan merupakan pergulatan batin yang sia-sia. Semoga. Salam, Budisan.


KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kegiatan pembentukan Jabatan Fungsional Pengelola Perbendaharan (JFPP) dan pengalaman implementasi jabatan fungsional di sejumlah instansi pemerintah, serta mengacu pada beberapa literatur tentang Manajemen Pengembangan SDM dan Manajemen Kinerja, kami menyampaikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

  1. Salah satu penyebab utama kegagalan dalam proses pembentukan JFPP, baik versi lengkap (yang meliputi 6 fungsi perbendaharaan) maupun versi parsial (per fungsi/homebase), adalah kelemahan yang terdapat dalam mekanisme pelaksanaan Survei Penetapan Angka Kredit yang ditetapkan oleh Kementerian PAN dan BKN sebagai persyaratan dalam pembentukan jabatan fungsional.Sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat Kementerian PAN dan BKN,pelaksanaan survei Penetapan Angka Kredit yang akan digunakan sebagai pengukuran kinerja bagi pejabat fungsional dilakukan dengan cara mengumpulkan data beban kerja per kegiatan yang dilakukan oleh para pegawai/pejabat struktural. Padahal sebagaimana telah kita ketahui, terdapat perbedaan yang cukup mendasar dalam sistem pembagian kerja antara para pegawai/pejabat struktural dan pejabat fungsional. Pembagian kerja di antara para pelaksana pada jabatan struktural biasanya ditetapkan secara fleksibel tergantung pada kebutuhan unit kerja yang bersangkutan dan jumlah tenaga kerja yang tersedia, sementara pembagian kerja untuk para pegawai dalam jabatan fungsional ditetapkan secara vertikal berdasarkan jenjang jabatannya, dimana masing-masing kegiatan tersebut mempunyai bobot nilai kredit yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan Menteri PAN.
    Selain itu, untuk menghasilkan suatu produk dalam jabatan struktural seringkali dilakukan melalui kerjasama tim yang dipimpin dan dikoordinasikan oleh seorang pejabat eselon, sedangkan dalam jabatan fungsional suatu produk pada umumnya dilkerjakan secara mandiri oleh seorang pejabat fungsional. Dengan kata lain, penyusunan sistem penilaian kinerja (angka kredit) jabatan fungsional yang akan dibentuk dilakukan berdasarkan kondisi data di lapangan saat ini dimana berlaku mekanisme pembagian kerja/kegiatan bagi pegawai dalam jabatan struktural. Kondisi demikian akan mempengaruhi nilai angka kredit yang dihasilkan dan pada umumnya akan menghasilkan banyak nilai angka kredit per kegiatan yang terlalu kecil atau terlalu besar yang, apabila tidak dilakukan suatu rekayasa atau manipulasi data/kegiatan ujipetik, akan mempengaruhi keputusan pejabat Kementerian PAN dan BKN untuk tidak menyetujui pembentukan jabatan fungsional tersebut.

  2. Konsep JFPP sebagaimana yang diuraikan dalam Naskah Akademik JFPP terlalu besar/luas cakupannya untuk dibentuk dalam satu jabatan fungsional (spesialisasi) di bidang perbendaharaan. Konsep JFPP yang terlalu besar/luas tersebut bukan hanya berimplikasi pada proses pembentukan JFPP yang menjadi sangat kompleks karena melibatkan berbagai macam instansi yang mempunyai karakteristik dan beban kerja yang beragam, melainkan juga berimplikasi pada masalah kebijakan mutasi pegawai (terutama mutasi lintas fungsi) yang diperkirakan akan sulit dilaksanakan dalam implementasi JFPP tersebut. Selain itu, penerapan JFPP di semua unit teknis DJPB diperkirakan juga akan membawa implikasi pada masalah pembagian kerja dan pemberian reward antara pegawai pelaksana jalur struktural yang bekerja pada suatu unit kerja dan pejabat fungsional yang bekerja pada unit kerja yang sama, dimana masing-masing mempunyai sistem penilaian kinerja yang berbeda.

  3. Dibandingkan dengan Jabatan Struktural pada umumnya yang penilaian kinerjanya dilakukan oleh pejabat atasannya dengan memperhatikan unsur-unsur penilaian yang telah ditetapkan dalam dokumen DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) PNS, Jabatan Fungsional mempunyai sistem penilaian kinerja yang disebut Angka Kredit yang dibuat berdasarkan aktivitas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pejabat fungsional yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Pada umumnya sistem penilaian kinerja berdasarkan Angka Kredit tersebut dinilai lebih obyektif dibandingkan dengan sistem penilaian kinerja yang hanya berdasarkan pada penilaian pejabat atasannya yang dituangkan dalam DP3. Meskipun demikian, paling tidak terdapat tiga hal yang menghalangi kemungkinan diadopsinya penggunaan Angka Kredit sebagai sistem penilaian kinerja PNS.
    Pertama, sistem penilaian kinerja Angka Kredit hanya cocok untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu yang produknya dikerjakan/diselesaikan secara individual (mandiri) dan beban kerjanya relatif tidak terbatas tergantung pada kreativitas masing-masing pejabat fungsional yang bersangkutan. Sebagai contoh, kegiatan penerbitan dokumen SP2D pada KPPN yang penyelesaiannya tergantung pada kerjasama antar beberapa unit kerja yang terkait, dalam praktek, akan sulit diterapkan dalam konteks kegiatan jabatan fungsional. Demikian pula, jabatan fungsional sulit diterapkan pada instansi pemerintah yang beban kerjanya relatif terbatas. Hal tersebut telah dibuktikan oleh pengalaman implementasi jabatan fungsional Pemeriksa Bea Cukai dimana Ditjen Bea Cukai memutuskan untuk membatasi penerapan jabatan fungsional tersebut pada kantor-kantor pelayanan Bea Cukai yang relatif besar beban kerjanya.
    Kedua, penilaian kinerja Angka Kredit mempunyai beberapa kelemahan, yakni penilaian kinerjanya dihitung berdasarkan pada jumlah produk/kegiatan yang dihasilkan dan mengabaikan kualitas produk/kegiatan yang dihasilkan, serta tidak dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sistem penilaian kinerja demikian tentu tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang lebih mengutamakan kualitas seperti penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana kita ketahui, sejak beberapa waktu lalu telah dikembangkan penyusunan Key Performance Indicator (KPI) dengan menggunakan Balanced Scorecard dalam rangka pelaksanaan sistem manajemen berbasis kinerja di lingkungan Departemen Keuangan. Pengembangan dan penerapan sistem penilaian kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard tersebut memungkinkan kita untuk menghapus beberapa kelemahan yang terdapat dalam penilaian kinerja berdasarkan Angka Kredit.
    Ketiga, penerapan sistem penilaian kinerja yang berbeda (Angka Kredit dan Balanced Scorecard secara bersama-sama) dalam satu unit kerja yang mempunyai tupoksi yang sama dapat mengakibatkan munculnya permasalahan keadilan (fairness) yang terkait dengan relasi antara capaian kinerja yang dihasilkan dan reward yang diterima oleh pegawai pada unit kerja tersebut.

  4. Untuk mewujudkan pegawai pengelola perbendaharaan yang profesional di instansi pemerintah, baik selaku Kuasa Bendahara Umum Negara ataupun selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, meningkatkan kompetensi pegawai melalui program pendidikan dan pelatihan pegawai, menciptakan kondisi ke arah perubahan sikap pegawai yang berorientasi pada peningkatan kinerja melalui program pengembangan manajemen kinerja, dan meningkatkan integritas pegawai melalui penerapan reward and punishment system secara efektif. Profesional atau tidaknya seorang pegawai tidak ditentukan oleh apakah pegawai tersebut berada pada jabatan fungsional atau berada pada jabatan struktural, melainkan ditentukan terutama oleh sejauhmana pelaksanaan Manajemen Pengembangan SDM dan Manajemen Kinerja diterapkan secara efektif di instansi pegawai yang bersangkutan.

  5. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan memperhatikan beberapa permasalahan dalam proses pembentukan JFPP dan dalam implementasi jabatan fungsional, terutama yang dibuat oleh dan diterapkan di Departemen Keuangan, kami mengusulkan agar upaya mewujudkan pengelola perbendaharaan yang profesional melalui pembentukan JFPP dievaluasi dan ditinjau kembali secara komprehensif dengan melibatkan Sekretariat Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat-Direktorat Teknis di Kantor Pusat selaku instansi pengusul dan pengguna JFPP.

  6. Apabila berdasarkan hasil evaluasi internal DJPB dan/atau berdasarkan pertimbangan tertentu Direktur Jenderal Perbendaharaan memutuskan untuk menyampaikan Rancangan Permenpan tentang Jabatan Fungsional Analis Laporan Keuangan kepada Menteri PAN melalui Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, maka menurut hemat kami perlu dilakukan ujicoba penerapan jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan, termasuk evaluasi terhadap hasil ujicoba tersebut, dengan melibatkan unit/instansi pengguna. Hasil ujicoba penerapan jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan tersebut dapat pula dijadikan bahan pertimbangan apakah pembentukan JFPP lainnya perlu ditindaklanjuti.

  7. Berdasarkan pengalaman pembentukan dan pelaksanaan jabatan fungsional di lingkungan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, apabila hasil ujicoba tersebut dinilai/dinyatakan gagal atau berindikasi masalah (problem maker) maka implementasi atau penerapannya secara luas jabatan fungsional tersebut dihentikan. Sebagai contoh, jabatan fungsional Penyuluh Pajak yang beberapa tahun lalu telah diterbitkan Permenpannya hingga saat ini masih belum dapat dilaksanakan karena terkait dengan hasil ujicobanya yang dinilai belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Demikian pula, penerapan jabatan fungsional Pemeriksa Bea Cukai di lingkungan Ditjen Bea Cukai hingga saat ini masih terbatas pada sub unsur kegiatan tertentu dan hanya dilaksanakan pada beberapa Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai yang beban kerjanya cukup tinggi. Padahal untuk diketahui bahwa pelaksanaan jabatan fungsional Pemeriksa Bea Cukai telah berjalan sejak tahun 1989. Penambahan unit baru "Bagian Jabatan Fungsional" pada Biro Organta Setjen Departemen Keuangan beberapa waktu lalu (PMK 100/PMK.01/2008) diperkirakan terkait beberapa permasalahan pelaksanaan jabatan fungsional di lingkungan Departemen Keuangan tersebut.

  8. Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa nara sumber, kami berkesimpulan bahwa terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat tentang peran dan kedudukan Bendahara dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kelompok yang pertama menempatkan Bendahara sebagai (1) individu yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan uang negara yang menjadi tanggungjawabnya dan sebagai (2)"perpanjangan tangan" Kuasa BUN/BUD yang melaksanakan tugas Pebendaharaan (comptable) di satker (kementerian negara/lembaga). Keinginan kelompok pertama tersebut telah terpenuhi dengan ditetapkannya Bendahara sebagai Pejabat Fungsional dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan kelompok lainnya menempatkan Bendahara sebagai salah satu pejabat pengelola dan penanggungjawab keuangan negara di satker (kementerian negara/lembaga) yang bersama-sama dengan para pejabat pengelola dan penanggungjawab keuangan negara lainnya di satker tersebut (Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, dll.) bertanggungjawab terhadap pengelolaan uang negara yang menjadi tanggungjawabnya. Keinginan kelompok kedua tersebut juga telah terpenuhi melalui pembentukan JFPP yang diamanatkan dalam KMK No.466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.Mengingat berbagai hambatan yang dihadapi dalam proses pembentukan JFPP dan kegagalan proses pembentukan jabatan fungsional Bendahara yang dilakukan oleh BAKUN pada tahun 2003/2004, pada awal tahun 2008 telah dihidupkan kembali oleh anggota tim teknis JFPP wacana tentang pembentukan jabatan fungsional Bendahara non-angka kredit. Mengenai pembentukan jabatan fungsional Bendahara non-angka kredit tersebut, pejabat Kementerian PAN menunjuk pada kasus Petugas Pemasyarakatan yang menurut mereka merupakan pejabat fungsional non angka kredit, dimana mereka mendapatkan tunjangan dan kenaikan pangkat/jabatannya tidak dikaitkan dengan kemampuan mengumpulkan angka kredit sebagaimana yang berlaku pada pejabat fungsional pada umumnya. Hal tersebut mirip dengan Bendahara dan para pejabat pengelola keuangan lainnya di satker yang sejak beberapa tahun lalu telah mendapatkan honor bulanan yang besarnya diatur sesuai dengan nilai pagu dana yang dikelolanya.


Ringkasnya, pejabat Kementerian PAN berpendapat bahwa pembentukan jabatan fungsional Bendahara non-angka kredit dapat dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden tentang Tunjangan Bendahara. Namun, sebagaimana telah disampaikan pada bagian awal laporan ini bahwa berdasarkan ketentuan tentang Jabatan Fungsional yang berlaku di Indonesia (PP No.16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS), tidak dikenal adanya istilah "Jabatan Fungsional non-Angka Kredit". Selain itu, Petugas Pemasyarakatan hingga saat ini juga belum/tidak termasuk dalam Daftar Jabatan Fungsional PNS. Melihat konteks permasalahan jabatan fungsional non-angka kredit tersebut, baik dari aspek substansi maupun legalitas, kami tidak yakin apakah pembentukan jabatan fungsional Bendahara (non-angka kredit), sebagaimana diminta oleh Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan agar diselesaikan secepatnya, dapat memenuhi amanat pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang pembentukan jabatan fungsional Bendahara dalam rangka mewujudkan pengelola perbendaharaan/ keuangan yang profesional.

Demikian kami sampaikan kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan bagian dari Laporan Perkembangan Pembentukan JFPP secara keseluruhan. Kami sepenuhnya menyadari bahwa sebagian dari kesimpulan dan pendapat yang telah kami kemukakan tersebut mungkin suatu saat terbukti keliru. Demikian pula sebagian rekomendasi yang telah kami sampaikan tersebut mungkin tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, kami berharap semoga Laporan Perkembangan Pembentukan JFPP ini dapat memberikan inspirasi kepada kita dan dapat kita manfaatkan secara optimal dalam upaya membantu Direktur Jenderal Perbendaharaan dalam proses pengambilan keputusan tentang tindak lanjut pembentukan JFPP.


Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post