“LABEL”

Eileen Rachman & Sylvina Savitri

EXPERD

One-day Assessment Centre

Dimuat di KOMPAS, 22 Mei 2010

Sudah biasa bagi para trainer muda kami menanggapi pertanyaan peserta di awal pelatihan, yang entah usil atau hanya sekedar basa-basi mengenai “status” dirinya. Dengan ringan si ‘trainer’ pun akan menggunakan kata-kata diplomatis bahwa ia berstatus menikah atau hampir menikah, ataupun masih mencari pasangan. Pernah saya berkelakar dan bertanya, mana yang lebih disukai, ditanya tentang status atau diminta menggambarkan diri sendiri secara lengkap. Secara berbarengan teman-teman menjawab bahwa lebih mudah mengatakan status karena hal itu sangat nyata. Sementara, mencari kata-kata untuk menggambarkan diri sendiri lebih sulit. Apa yang menarik untuk diceritakan?

Saya pernah dikejutkan oleh jawaban seorang anak barat. Ketika saya bertanya berapa usianya, dengan lantang ia berkata, “Saya enam tahun dan autistik”. Tertegun dengan jawabannya, saya bertanya lagi,”Ooh…, siapa yang mengajarimu menjawab begitu?” Dengan tenang ia menjawab, “Guruku mengajarkan untuk menerangkan siapa saya, supaya lingkungan lebih men-’support’ keadaanku”. Kesadaran diri dan kejujuran yang sangat penting dan bahkan bermanfaat ini, kita lihat malahan seringkali “ditekan” oleh kita yang sudah dewasa.

Banyak di antara kita yang tidak biasa atau segan untuk menggambarkan keadaan dirinya. Masyarakat yang lebih menghargai sikap ‘low profile’, malu-malu dan tidak menonjolkan diri, sering menyebabkan kita tidak berani dengan jelas memberi ‘label’ tentang siapa kita dengan gamblang. “Ya, saya ya memang begini keadaannya...”. Ada juga teman yang saat ditanya mengenai pekerjaannya bahkan sengaja mengaburkan profesinya dan organisasi tempatnya bekerja, padahal pekerjaan dan tempat kerjanya bereputasi baik. Kita lihat bahwa tidak semua orang meyakini bahwa ia boleh mengucapkan hal-hal yang baik kalau memperkenalkan diri. “Nanti dibilang sombong lagi…” demikian elak kebanyakan orang. Seorang ahli manajemen bahkan mengatakan,” Sometimes, I think that my biggest enemy is me. Why do we say and do things that limit our own success?

Sadari Dampak Label

Mari kita ingat-ingat, seberapa sering kita menolak mengakui kesuksesan kita saat dipuji oleh orang lain? Seorang teman, saat dipuji betapa pintarnya dia menyelesaikan sebuah tugas, sering kali berkilah, “Ah, itu mah kebetulan saja...”. Kita terkadang lupa bahwa dengan me’label’ diri kita ‘apa adanya’ atau ‘biasa saja’, kita memang bisa tumbuh menjadi orang ‘biasa’ saja, jadi tidak menonjol dan tidak hebat. Cara pandang dan sikap seperti inilah yang sering tidak disadari membuat individu tidak tumbuh subur sebagai manusai sehat dan penuh spirit untuk memperbaiki diri.

“Label” seringkali dibuat oleh orang lain. Namun, bayangkan, bila diri kita sendirilah yang membuat lebih banyak label negatif ke diri kita daripada positifnya. Saya pernah mendengar sahabat saya sendiri berulang kali dengan bangganya mengatakan,”Saya memang bukan pendengar yang baik”. Bisa jadi, penobatan inilah yang justru bisa membuat karirnya terhambat karena tidak menjadi pendengar. Semua individu normal sebetulnya mempunyai daftar perilaku, karakteristik dan catatan positif dan negatif tentang dirinya sendiri. Kita sesungguhnya bisa memilih untuk meng-campaign karakter positif diri kita supaya karakter tersebut makin kuat dan bahkan sampai bisa memberi impact.

Seusai rapat dengan salah satu direktur bank, teman saya mengomentari bahwa beliau tidak mengeluarkan satu keluhan pun dari mulutnya. Setiap masalah dan persoalan dikomentari sebagai sebagai suatu tantangan. Semua kata-kata, yang banyak juga menceriterakan tentang dirinya mengandung nada inspirasi. Tanpa terkesan dan bermaksud menyombongkan diri, beliau mengatakan betapa ia berdedikasi, result oriented, berusaha menang dan menyambut setiap tantangan. Kejelasan label ini seketika menumbuhkan respek dari orang lain pada dirinya. Kita pun perlu meyakini bahwa semakin banyak kata yang mengandung tantangan tentang diri kita, semakin pula kita terdorong menjadi apa yang sudah kita gambarkan.

Tampil Beda

Mana yang akan kita pilih, kecap tanpa label atau yang berlabel walaupun tidak terlalu terkenal? Inginkah kita tampil bagaikan sebotol kecap tanpa label? Kita sebagai individu perlu memikirkan ‘branding” diri kita sendiri. Kita adalah Chief Branding Officer dari diri kita. Kitalah yang perlu menciptakan ‘sense of distinctiveness” dan percaya pada merek kita sendiri. Caranya sebetulnya tidak terlalu sulit. Kita perlu mendeskripsikan, gambaran seperti apakah yang kita ingin tonjolkan dari diri kita, konsep diri kita.

Ada beberapa hal yang bisa kita tampilkan pada orang lain. Selain gambaran fisik yang memang sulit di ubah, kita sebenarnya dapat membuat gambaran sosial yang jelas mengenai diri sendiri, misalnya “Saya suka bertemu dengan kawan baru”, “Saya suka berjualan”. Kita pun bisa menyinggung hal-hal yang akademis, terutama kalau kita merasa mempunyai kelebihan di bidang tertentu, misalnya “Saya senang belajar bahasa”,”Saya merasa tertantang bila ada masalah hitung-hitungan yang rumit”. Tentunya tidak ada alasan untuk memberi ‘label’ diri yang mengambang, bahkan tidak maju, seolah mengindoktrinasi diri untuk tidak maju. Banyak sekali label positif yang bisa di’kena’kan pada diri kita yang justru semakin menantang kita untuk berbuat lebih baik.

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax.  021-7590 6442
http://www.experd.com

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post